Adhe Nuansa Wibisono, S.IP[1]
Ketua Bidang Perguruan Tinggi dan Kemahasiswaan PP KAMMI
Kajian Terorisme dan Keamanan Internasional FISIP UI
Anggota Biasa KAMMI
Jakarta, Selasa 2 Juli 2013
Penilaian dengan Hati
Apa yang membuat arahan kerja-kerja organisasi dapat menjadi terukur dan terarah? Pikiran kita kemudian beralih kepada visi, sebuah organisasi dibentuk atau didirikan dengan sebuah visi besar yang menyertainya. Jika kita berbicara sebuah visi gerakan lalu bagaimana caranya kita dapat mewujudkan visi gerakan itu menjadi sesuatu yang dapat diterapkan, kemudian dapat diukur secara rigid dan mendetail? Pada mulanya penulis melihat adanya suatu kegamangan yang terlihat pada organisasi KAMMI, tepatnya pada level struktur kepengurusan Pusat. Ketika itu pada bulan maret 2011, di kota Banda Aceh, penulis dan kawan-kawan dari KAMMI Daerah Sleman dan KAMMI Wilayah Yogyakarta menghadiri Muktamar VII KAMMI.
Saat itu proses muktamar mulai memasuki masa-masa penilaian Laporan Pertanggung Jawaban Pengurus Pusat (LPJ PP) KAMMI. Keanehan mulai dirasakan ketika para muktamirin harus memberikan penilaian kepada kinerja kepengurusan Pusat kala itu, satu pertanyaan kemudian mengemuka, “bagaimana mekanisme melakukan penilaian LPJ PP KAMMI?”. Terjadi keriuhan diantara muktamirin menanggapi pertanyaan tersebut, muncul banyak opsi untuk melakukan penilain terhadap LPJ tersebut. Sampai-sampai ada guyonan, “sebaiknya kita melakukan penilaian dengan hati saja, jadi antum menolak atau menerima LPJ tersebut berdasarkan penilaian subyektif delegasi daerah”.
Sebenarnya penyebabnya sederhana saja, penulis melihat mengapa para muktamirin mengalami kebingungan dalam melakukan penilaian LPJ, dikarenakan tidak adanya suatu mekanisme penilaian yang baku yang ditetapkan dalam sebuah indikator-indikator keberhasilan yang parameter penilaiannya bersifat kuantitatif, dengan angka-angka yang bisa diukur. Problem ini pun disadari juga oleh delegasi daerah dan wilayah KAMMI Yogyakarta yang kemudian memberikan usulan bahwa LPJ ini harus dinilai dengan sebuah indikator kuantitatif yang terukur dan kemudian diberikan persentase keberhasilan. Akhirnya usulan itupun diterima oleh para muktamirin dan menjadi alat ukur yang digunakan dalam proses penilaian LPJ tersebut.
Pada saat itu Pengurus Pusat KAMMI Periode 2009-2011 telah melakukan suatu perumusan Panduan Kerja Nasional (PKN) yang telah mencakup beberapa bidang bahasan seperti : Organisasi, Kaderisasi, Jaringan Gerakan, Sosial Politik dan Administrasi Keuangan. Pembahasan yang cukup detail juga terdapat dalam poin, “Terbinanya kader baru sejumlah 10.000 AB 1, 5000 AB 2, 2000 AB 3”, “terciptanya 10 KAMMI Wilayah, 50 KAMMI Daerah, 275 Komisariat”
[2], “Terbentuknya Tim Pengkader di semua level”, dan “Terbitnya buku manhaj kaderisasi”.
[3] Walaupun masih banyak ditemui beberapa poin yang sifatnya cukup normatif dan agak kesulitan jika kita akan melakukan suatu pengukuran yang sifatnya kuantitatif, seperti terdapat dalam poin, “Terlibat aktif dalam interaksi antar gerakan mahasiswa”, “Membangun tradisi intelektual dengan menumbuhkan tradisi membaca, menulis, dan diskusi di kalangan kader”, dan “Memulai impelementasi distribusi fungsi struktural dengan rapi”.
[4]
Berkaca dari pengalaman tersebut penulis akhirnya menyadari adanya celah kelemahan dalam KAMMI, yaitu belum optimalnya suatu panduan kerja nasional yang detail dan terukur dan kemudian dijadikan sebagai acuan secara nasional bagi level kepengurusan KAMMI di Wilayah dan Daerah untuk menyusun targetan kerja di wilayah dan daerah. Hal ini kemudian yang direkomendasikan oleh delegasi Yogyakarta agar seharusnya : KAMMI memiliki suatu Panduan Kerja Nasional agar dapat menjadi acuan bagi seluruh wilayah dan kemudian memiliki indikator keberhasilan yang terukur dan kuantitatif. Ketika itu usulan ini menjadi salah satu rekomendasi hasil muktamar VII yang harapannya sudah dapat diwujudkan pada Mukernas I KAMMI periode 2011-2013.
Penyatuan Kesadaran
Berbicara visi gerakan KAMMI yaitu sebagai “
Wadah perjuangan permanen yang akan melahirkan kader-kader pemimpin dalam upaya mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang Islami”
[5], penulis menyadari bahwa seharusnya visi gerakan ini kemudian harus diturunkan secara bertahap melalui beberapa proses yaitu misi, perencanaan strategis 10 tahunan, panduan kerja nasional dan kemudian program kerja. Artinya para kader di dalam organisasi KAMMI ini harus belajar untuk memahami apa keterkaitan antara visi gerakan dengan program kerja riil yang mereka lakukan di lapangan. Menjaga semangat pencapaian visi itu yang kemudian menjadi suatu hal yang penting dilakukan. Menjadi tanggung jawab para elite pengurus pusat KAMMI agar para aktivis KAMMI di seluruh Indonesia dapat memahami kesinambungan antara visi, misi, renstra, panduan kerja nasional hingga berwujud menjadi program kerja yang dilaksanakan baik di tingkat wilayah, daerah dan komisariat.
Pada dua tahun belakangan ini penulis menemukan beberapa contoh kasus ada beberapa wilayah dan daerah
[6] yang belum memahami nalar Panduan Kerja Nasional, sehingga kemudian program-program kerja yang disusun di wilayah dan daerah tersebut tidak disandarkan pada perumusan Panduan Kerja Wilayah dan Panduan Kerja Daerah. Ternyata permasalahan ini berlanjut hingga ke tingkatan komisariat, dikarenakan tidak adanya Panduan Kerja Wilayah dan Panduan Kerja Daerah, kemudian teman-teman komisariat pada daerah tersebut juga tidak menggunakan Panduan Kerja Komisariat sebagai dasar penyusunan program kerja mereka di tingkatan komisariat. Pertanyaan yang kemudian muncul di benak penulis adalah, dari referensi apa kemudian wilayah, daerah dan komisariat tersebut menentukan program kerjanya? Capaian-capaian organisasi yang ditargetkan tersebut dilakukan untuk memenuhi tujuan apa? Jika program kerja yang disusun tidak disandarkan pada Panduan Kerja Nasional maka yang terjadi adalah program-program kerja yang dilakukan di wilayah, daerah dan komisariat tersebut tidak memiliki relevansi dengan pemenuhan poin-poin keberhasilan yang telah ditentukan dan ditargetkan secara nasional.
Sederhananya seperti ini, misalkan kita menyepakati bahwa poin, “Terbinanya kader baru sejumlah 10.000 AB 1, 5000 AB 2, 2000 AB 3” adalah salah satu hal yang harus dipenuhi dalam Panduan Kerja Nasional, artinya seluruh level pengurus KAMMI , baik wilayah-daerah-komisariat, secara bersama-sama menjadikan target rekrutmen ini sebagai kerja kolektif. Secara nasional sudah disepakati bahwa target rekrutmen adalah 10.000 AB 1, kemudian target ini dibagi secara proporsional kepada seluruh wilayah sesuai dengan kapasitas rekrutmen masing-masing wilayah. Misalkan wilayah Aceh ditargetkan 800 AB 1, wilayah Sumut 1000 AB 1, wilayah Sumbagsel 1000 AB 1, wilayah Megapolitan 800 AB 1, wilayah DIY 800 AB 1, dst. Kemudian targetan wilayah ini diturunkan kembali kepada level daerah sesuai dengan proporsi daerah, misalkan tiga daerah di Yogyakarta yaitu daerah Kota 250 AB 1, daerah Bantul 250 AB 1, dan daerah Sleman 300 AB 1. Penurunan target ini berlangsung hingga level komisariat yang kemudian menjadi ujung tombak dalam pelaksanaan daurah marhalah (DM) I, yang menjadi sarana perekrutan KAMMI di berbagai universitas yang ada di seluruh Indonesia.
Dengan adanya proses penahapan yang demikian maka kita dapat melihat suatu kesinambungan antara targetan nasional yang kemudian disusun pada Panduan Kerja Nasional dengan implementasi program kerja baik di level wilayah, daerah dan komisariat. Artinya ada suatu kejelasan bahwa program-program kerja yang dilakukan di setiap level kepengurusan adalah sebagai bagian dari semangat kolektif nasional dalam rangka pemenuhan poin-poin keberhasilan dalam Panduan Kerja Nasional. Program kerja yang dilakukan oleh setiap aktivis KAMMI dimanapun dalam level kepengurusan apapun memiliki relevansi dengan pencapaian visi gerakan. Kesadaran ini yang kemudian akan menjadikan kerja-kerja kita semua di lapangan menjadi lebih kokoh dan berarti. Dengan menjadikan Panduan Kerja Nasional sebagai satu referensi kerja-kerja kolektif aktivis KAMMI maka dalam titik ini kita telah mencapai satu titik “penyatuan kesadaran” (unity of consiousness), bahwa dimanapun kita mengamalkan program kerja ini maka kita menyadari bahwa kader-kader KAMMI dari Aceh hingga Papua di seluruh Indonesia juga sedang berjuang melakukan hal yang serupa, bahwa kita tidak sendirian kawan.
Bisakah Kita Berpikir Strategis?
Jika kita semua sudah memahami bahwa Panduan Kerja Nasional adalah satu hal yang penting, yang kemudian menjadi rumusan kolektif yang menyatukan kesadaran kita. Lalu apa lagi yang seharusnya kita pikirkan, apakah panduan kerja yang sudah ada itu sudah baku? Sudah permanen? Sehingga ide-ide strategis yang kita miliki tidak bisa kita tuangkan ke dalamnya? Tidak ada draft yang baku dalam sebuah organisasi dimana ada kesepakatan untuk selalu memperbaikinya dari masa ke masa, sesuai dengan perkembangan dan tantangan zaman yang dihadapi KAMMI ke depannya. Hal ini pulalah yang membuat penulis berpikir untuk merekomendasikan beberapa poin yang dirasa cukup strategis untuk dimasukkan ke dalam Panduan Kerja Nasional, sehingga arah gerakan KAMMI secara nasional dapat berjalan dengan lebih solid dan lebih masif. Melalui usulan-usulan ini penulis mengajak kepada para aktivis KAMMI seluruh Indonesia agar juga bersama-sama memberikan tawaran-tawaran strategisnya.
Korps Instruktur Nasional, penulis menyadari bahwa salah satu hal strategis yang diwujudkan dalam kepengurusan pusat 2013-2015 adalah adanya pembentukan Korps Instruktur Nasional yang bersama-sama Kaderisasi PP KAMMI bertanggung jawab atas penyelenggaraan training-training pengkaderan KAMMI secara nasional. Selama ini penulis mengamati adanya kebutuhan dari wilayah dan daerah akan aktivis KAMMI yang memiliki kompetensi memadai akan filosofi gerakan KAMMI, ideologi politik KAMMI, dan proses pengelolaan training pengkaderan. Salah satu kelemahan yang terlihat adalah minimnya regenerasi aktivis-aktivis level nasional KAMMI yang memang secara khusus memiliki kompetensi dalam wilayah filosofi dan ideologi gerakan KAMMI. Sehingga yang terjadi adalah beberapa alumni KAMMI masih saja menjadi dijadikan opsi satu-satunya untuk mengisi training-training KAMMI di daerah, tanpa adanya alternatif lain atau tidak adanya regenerasi yang berarti dari para aktivis dari generasi yang berikutnya.
Untuk memenuhi kebutuhan pengkaderan di level nasional, penulis menilai paling tidak Korps Instruktur Nasional membutuhkan 20 orang instruktur nasional dengan jenjang kader AB 3 yang tersebar secara merata di seluruh wilayah dan daerah. Artinya tim kaderisasi di setiap wilayah diharapkan tergabung ke dalam Korps Instruktur Nasional dan secara kolektif ikut mengelola pelaksanaan training pengkaderan KAMMI yang bersifat nasional di seluruh Indonesia. Untuk mempermudah proses pengelolaannya kemudian pembagian wilayah kerjanya dibagi kepada tiga wilayah yaitu Indonesia Barat (Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara), Indonesia Tengah (Kalimantan, Sulawesi), dan Indonesia Timur (Maluku dan Papua). Melalui pembentukan Korps Instruktur Nasional ini penulis berharap problem akan pengelolaan training pengkaderan di daerah bisa teratasi kemudian KAMMI dapat melakukan proses regenerasi dan terus melahirkan intelektual-intelektual gerakan yang baru.
Training Pengkaderan Nasional, melalui forum inilah KAMMI akan melahirkan instruktur dan para pemandu level nasional. Training Pengkaderan Nasional (TPN) ini diharapkan mampu menjadi ruang standarisasi mutu pengkaderan KAMMI di seluruh Indonesia, artinya training ini akan menjadi tempat bertemunya tim kaderisasi pusat dan tim kaderisasi wilayah yang kemudian akan melakukan perumusan mengenai standar pelatihan terutama Daurah Marhalah II dan Daurah Marhalah III. Jika kita mencoba kembali melihat output seperti apa yang diharapkan dalam level penahapan jenjang kader di KAMMI maka kita akan menemukannya dalam Manhaj Kaderisasi KAMMI. Output pengkaderan yang diharapkan pada jenjang kader AB 1 adalah
Syakhsiyah Islamiyah (kepribadian Islam), pada jenjang kader AB 2 adalah
Syakhsiyah Da’iyah Muharrikah (kepribadian dai penggerak), dan pada jenjang kader AB 3 adalah
Syakhsiyah Qiyadiyah Siyasiyah (kepribadian pemimpin pengambil kebijakan)
[7].
Untuk memenuhi output ini maka dibutuhkan dua perangkat dalam sistem kaderisasi KAMMI, yaitu : 1.
Instruktur (Trainer), yaitu pelaksana penerapan manhaj kaderisasi KAMMI untuk sarana kaderisasi yang diterapkan dalam bentuk training pelatihan
[8], 2.
Pemandu, yaitu pelaksana penerapan manhaj kaderisasi KAMMI dengan cara melakukan bimbingan intensif kepada kader agar dapat memenuhi poin Indeks jati Diri Kader (IJDK) KAMMI.
[9] Melalui forum Training Pengkaderan Nasional diharapkan dapat menjadi sarana peningkatan kompetensi bagi kaderisasi-kaderisasi wilayah kemudian alumni dari TPN memiliki tugas untuk mengembangkan dua institusi di wilayahnya masing-masing yaitu : 1. Korps Instruktur Wilayah, yang bertanggungjawab pada pelaksanaan training pengkaderan KAMMI di wilayah dan daerah yang diampunya dan kemudian melakukan koordinasi terpusat dengan Korps Instruktur Nasional, 2. Korps Pemandu Wilayah, yang bertanggungjawab pada pelaksanaan madrasah KAMMI, baik
madrasah am (kajian) maupun
madrasah khas(mentoring), di wilayah dan daerah yang diampunya dan kemudian melakukan koordinasi terpusat dengan Departemen Kaderisasi Pengurus Pusat KAMMI. Saya berpikir paling tidak kita membutuhkan pembentukan minimal 8 Korps Instruktur Wilayah dan 8 Korps Pemandu Wilayah di seluruh Indonesia. Ini adalah angka minimal yang dibutuhkan oleh KAMMI agar sistem Korps Instruktur Nasional dan Kaderisasi PP KAMMI dapat berjalan dengan optimal.
Manhaj Ideologi Politik, saya mengamati selama ini KAMMI belum memiliki satu rangkuman buku yang memuat tafsir-tafsir filosofi gerakan yang dapat dijadikan sebagai referensi utama bagi materi-materi pengkaderan di KAMMI. Ada upaya-upaya yang dilakukan oleh beberapa pimpinan KAMMI seperti Rijalul Imam [Ketua Umum Pengurus Pusat KAMMI 2009-2011] yang menelurkan gagasan “
Tafsir Epistemik Prinsip Perjuangan KAMMI : Agenda dan Mihwar Gerakan Keummatan”
[10], tetapi gagasan ini belum ditindaklanjuti dengan adanya satu buku induk yang berisikan pandangan filosofi gerakan KAMMI kemudian dijadikan sebagai referensi utama. HMI telah lama mengeluarkan pemikiran otentiknya yang diwakili oleh Nurcholish Madjid dengan gagasan “Nilai Dasar Perjuangan” [NDP]
[11], gagasan ini diakui sebagai karya pemikiran otentik yang mendeskripsikan visi dari HMI.
Pada titik inilah kemudian saya menyimpulkan bahwa KAMMI harus menelurkan “Manhaj Ideologi Politik” yaitu buku induk yang menjadi tafsir bagi setiap perangkat ideologi dalam pembahasan yang cukup mendalam. Beberapa perangkat ideologi yang saya tawarkan dibahas dalam buku manhaj ini adalah poin-poin yang terdapat di dalam Garis Besar Haluan Organisasi (GBHO) KAMMI
[12], yaitu : 1. Visi Gerakan, 2. Misi Gerakan, 3. Kredo Gerakan, 4. Prinsip Gerakan, 5. Karakter Organisasi, 6. Paradigma Gerakan, 7. Unsur-Unsur Perjuangan, 8. Tafsir Logo KAMMI. Ide dasarnya pada “Manhaj Ideologi Politik” ini akan membahas delapan aspek perangkat ideologi gerakan tersebut secara mendalam disertai dengan referensi penulisan ilmiah yang baik.
Akan dilakukan dua metode dalam melakukan analisa ideologi KAMMI yaitu melalui penafsiran secara qur’ani dilengkapi dengan intrepretasi melalui pisau analisis ilmu sosial sehingga didapatkan gambaran yang utuh dan komprehensif akan tafsir ideologi gerakan KAMMI ini. Kemudian Manhaj Ideologi Politik ini akan menjadi buku ideologi wajib yang dibaca, dipahami dan diaktualisasikan oleh setiap level pengkaderan KAMMI baik dari tingkatan nasional hingga komisariat. Sehingga para pengkader, instruktur dan pemandu memiliki satu acuan referensi yang jelas ketika berbicara tentang perangkat ideologi KAMMI dalam berbagai forum pengkaderan yang ada. Dalam bayangan saya “Manhaj Ideologi Politik” KAMMI ini posisinya akan menjadi seperti “Nilai Dasar Perjuangan” HMI, manhaj ini akan menjadi acuan utama bagi para kader KAMMI ketika ingin melakukan intrepretasi dan penafsiran ideologi KAMMI.
Presiden Mahasiswa, posisi strategis presiden mahasiswa dan badan eksekutif mahasiswa di berbagai universitas di seluruh Indonesia menjadi satu prioritas penting yang dicermati oleh KAMMI. Pemenangan kader KAMMI sebagai presiden mahasiswa adalah salah satu bentuk nyata dari seberapa besar akseptabilitas publik KAMMI pada tingkat universitas. Melalui dinamika politik yang ada di dalam Pemilihan Umum Mahasiswa (PEMILUWA), KAMMI dapat merasakan atmosfer demokrasi dan melakukan proses pematangan aktivisnya melalui kompetisi politik pemilu mahasiswa. Sebenarnya selama beberapa tahun terakhir aktivis KAMMI di berbagai universitas di seluruh Indonesia telah berhasil mencapai kemenangan politik sebagai presiden mahasiswa. Satu hal yang menjadi catatan penulis adalah inisiatif politik yang dilakukan oleh para aktivis KAMMI tersebut dalam melakukan proses pemenangan politik kampus itu berasal dari masing-masing komisariat atau universitas dimana aktivis KAMMI itu berasal dan tidak menjadi suatu kebijakan strategis nasional yang ditetapkan oleh Pengurus Pusat KAMMI kemudian diturunkan menjadi arahan strategis di tingkat wilayah, daerah dan komisariat. Sehingga terkadang terjadi gap komunikasi antara struktur KAMMI dengan para aktivis KAMMI yang menjadi presiden mahasiswa di berbagai universitas tersebut.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka penulis mengajukan satu usulan bahwa kebijakan pemenangan kader KAMMI di berbagai momentum pemilu mahasiswa harus disahkan menjadi satu kebijakan strategis nasional KAMMI yang diturunkan kepada wilayah, daerah dan komisariat sehingga struktur KAMMI memiliki kewenangan yang besar dan dapat melakukan mobilisasi nasional untuk mencapai pemenangan politik di berbagai kampus lainnya. Artinya secara internal KAMMI mampu melakukan konsolidasi nasional terhadap para presiden mahasiswa yang berasal dari KAMMI yang kemudian diharapkan dapat membentuk suatu aliansi nasional strategis yang turut memperjuangkan visi politik KAMMI di dalamnya.
Kemudian secara eksternal KAMMI secara simultan melakukan ekspansi politik terhadap badan eksekutif mahasiswa yang belum dimenangkan oleh KAMMI, ini merupakan sarana yang baik untuk meningkatkan skill politik aktivis KAMMI dan juga menguji kematangan gerakan KAMMI dalam kontestasi politik gerakan mahasiswa. Untuk itu saya mengajukan poin “Pemenangan kader KAMMI sebagai Presiden Mahasiswa di tingkat Universitas pada 120 universitas di Indonesia dengan rincian 70 universitas berbasiskan PTN dan UIN, serta 50 universitas berbasiskan PTS”. Ini adalah poin strategis yang menjadi tawaran penulis, bisa jadi saat ini angka ini dirasa terlalu tinggi untuk dicapai, tetapi yakinlah jika aktivis KAMMI seluruh Indonesia sudah mengikhtiarkan visi ini, tidak ada yang tidak mungkin dicapai, tidak ada gunung yang terlalu tinggi untuk didaki kawan.
Ikhtitam
Kesinambungan narasi dari visi gerakan hingga program kerja menjadi poin penting yang muncul dari pembahasan ini. Jika para aktivis KAMMI memahami narasi besar dari visi gerakan, renstra gerakan, panduan kerja nasional hingga program kerja maka kita semua akan menyadari bahwa yang kita lakukan adalah sebuah kerja kolektif nasional dimana aktivitas setiap level struktur KAMMI, bahkan setiap anggota KAMMI memiliki andil dalam pencapaian visi gerakan dalam Panduan Kerja Nasional KAMMI. Saya menyebut titik ini sebagai momentum “Penyatuan Kesadaran” (Unity of Consiousness), dimana setiap kader KAMMI mampu merasakan geliat perjuangan yang sedang dilakukan oleh seluruh kader KAMMI se-Indonesia. Kemudian adanya beberapa usulan strategis yang dimasukkan ke dalam Panduan Kerja Nasional seperti poin Korps Instruktur Nasional, Training Pengkaderan Nasional, Manhaj Ideologi Politik dan Presiden Mahasiswa adalah tafsir pribadi penulis melihat kebutuhan strategis apa yang dibutuhkan gerakan KAMMI saat ini. Penulis berharap rekomendasi ini dapat semakin menjadikan gerakan KAMMI ini solid secara internal dan masif secara eksternal.
KAMMI adalah ruang pengujian dan pembuktian kecintaan kita terhadap aktivisme, selama berada di KAMMI saya akhirnya menyadari bahwa gerakan ini pada akhirnya akan memilih. KAMMI akan memilih mana orang-orang yang benar mencintainya secara jujur, sederhana dan sepenuh hati. Tulisan ini pun merupakan bentuk harapan dan kecintaan saya terhadap gerakan yang sudah saya bersamai dan dampingi selama tujuh tahun terakhir. Bisa jadi kita semua pernah merasakan kekecewaan pada gerakan ini, bisa jadi kita semua pernah merasakan hilangnya kepercayaan kepada gerakan ini, bisa jadi kita semua pernah memutuskan untuk meninggalkan gerakan ini. Tetapi yakinlah kawan bahwa kekecewaan dan keresahan itu hanya bisa diubah dengan pembuktian kecintaan kita kepada KAMMI, kita akan selalu kembali bangkit walau masalah seperti apapun yang melanda, kita akan selalu percaya kepada ketulusan kawan-kawan seperjuangan kita di sini dan kita akan tetap bertahan sampai titik perjuangan yang terakhir. Tetaplah bertahan pada garis perjuangan ini kawan, dan katakanlah kepada dunia, “Ini cara kami untuk mencintai KAMMI dengan sederhana”.
nashrun minallah wa fathun qariib
[1] Mahasiswa Pasca Sarjana Kajian Terorisme dan Keamanan Internasional FISIP UI, anggota biasa KAMMI
[2] AB yang dimaksud adalah Anggota Biasa KAMMI, yang terdiri atas tiga jenjang yaitu AB 1, AB 2 dan AB 3
[3] Rijalul Imam dan Amin Sudarsono, “
Panduan Kerja Nasional KAMMI : Periode Masa Juang 2009-2010”, hal 7
[4] Rijalul Imam dan Amin Sudarsono, “
Panduan Kerja Nasional KAMMI : Periode Masa Juang 2009-2010”, hal 4-5
[5] Pasal 6, Visi, Anggaran Dasar,
“Konstitusi KAMMI : Hasil Muktamar VII KAMMI, Banda Aceh, 13-18 Maret 2011”, hal 3
[6] Yang dimaksud dengan wilayah dan daerah di sini adalah Pengurus Wilayah dan Pengurus Daerah KAMMI
[7] Departemen Kaderisasi Pimpinan Pusat KAMMI, “
Manhaj Kaderisasi KAMMI 1433 H”, (KAMMI Press : Jakarta, 2011), hal 3-5
[8] Departemen Kaderisasi Pimpinan Pusat KAMMI, “
Manhaj Kaderisasi KAMMI 1433 H”, (KAMMI Press : Jakarta, 2011), hal 14
[9] Departemen Kaderisasi Pimpinan Pusat KAMMI, “
Manhaj Kaderisasi KAMMI 1433 H”, (KAMMI Press : Jakarta, 2011), hal 11-12
[10] Rijalul Imam, “Tafsir Epistemik Prinsip Perjuangan KAMMI :Agenda dan Mihwar Gerakan Keummatan”, 2010
[12] Pasal 1, Pengertian, Garis-Garis Besar Haluan Organisasi,
“Konstitusi KAMMI : Hasil Muktamar VII KAMMI, Banda Aceh, 13-18 Maret 2011”, hal 34